Profile Music Photos Shows Blog Stream Friends Comments Badges Koes Bersaudara / Koes Plus's Blog Sign up Dec 11, 2007 Rolling Stone Indonesia / RS CLASSIC Edisi 25 (Koes Plus) OLEH BUDI SETIYONO ROLLING STONE INDONESIA RUMAH itu teduh dan asri. Halamannya luas. Hamparan rumput mendominasi pekarangan. Juga pohon-pohon palem yang berjajar rapi. Sudah duapuluh tahun pemilik rumahnya menyepi di pinggiran kota ini: Pamulang, Banten. Yon Koeswojo sedang berkumpul dengan istri dan anaknya di ruang keluarga. Lalu mereka keluar dan menuju bangunan di sayap kanan. Lukisan-lukisan potret tergantung dalam sekat-sekat kayu. Sebagian besar lukisan potret keluarga. Diri. Anak. Istri. Saudara. Koeswojo senior. Juga Koes Bersaudara dan Koes Plus dalam formasi lengkap. "Itu saya bikin sendiri. Gak ada guru," ujarnya. Melukis adalah aktivitas yang sudah digelutinya sejak tujuh tahun lalu. Yon mengembangkan teknik melukis sendiri. Tanpa sketsa pensil. Tanpa teori. Dia menyebutnya metode gelap terang. Prinsipnya, dia akan memberikan warna dasar pada kanvas, lalu menyapukan warna-warna gelap dan terang hingga membentuk sosok manusia yang ingin dia lukis. Yon mengajak saya duduk di teras. Lalu pindah ke kursi yang dibuat melingkar di halaman. Rindang. Tenang. "Kamu tahu siapa yang menanam semua rumput ini? Saya." Rumah di Pamulang ini dibelinya dari seorang Betawi tahun 1990. Luasnya 3.000 meter. Dengan sebuah mobil pick up, dia membeli rumput gajah di Depok. Lebih dari sepuluh kali. Lalu dia menanamnya. Secara berkala dia pula yang merapikan rumput-rumput ini. "Kalau gak gitu wah... makanya badan saya jadi begini," ujarnya sambil menekuk lengan tangannya. "Wajah saya, kata orang, juga jauh lebih muda." Dia tersenyum. Penampilan Yon tidak berubah seperti enam tahun lalu ketika saya menemuinya. Rambutnya masih gondrong sepundak. Yon satu-satunya keluarga Koeswojo yang masih bertahan di jalur musik. Selebihnya menghabiskan hari tua dengan aktivitas masing-masing. Djon masih menulis -karyanya tentang sejarah Koes Bersaudara pernah diterbitkan secara bersambung di tabloid Lelaki. Nomo berbisnis properti di Magelang. Yok membina kelompok petani Warga Jiwa Nusantara di Desa Saketi, Banten -Jiwa Nusantara adalah wadah penggemar Koes Plus yang dibikin Yok. Yon masih menciptakan lagu. Jika ada produser rekaman ingin merekam lagu-lagunya, dia siap. Dia juga masih bertahan bersama kelompok musiknya yang berusia hampir setengah abad: Koes Plus. "Alhamdulillah, saya masih eksis," ujar Yon. "Padahal dulu bapak melarang anak-anaknya main musik. Tapi begitu kemunculan Koes Bersaudara diterima masyarakat dan kehidupan lumayan, bapak sadar: dengan musik bisa hidup lebih dari pegawai negeri." Selanjutnya baca edisi 25 Rolling Stone Indonesia
Dec 11, 2007 Rolling Stone Indonesia / RS CLASSIC Edisi 25 (Koes Plus) OLEH BUDI SETIYONO ROLLING STONE INDONESIA RUMAH itu teduh dan asri. Halamannya luas. Hamparan rumput mendominasi pekarangan. Juga pohon-pohon palem yang berjajar rapi. Sudah duapuluh tahun pemilik rumahnya menyepi di pinggiran kota ini: Pamulang, Banten. Yon Koeswojo sedang berkumpul dengan istri dan anaknya di ruang keluarga. Lalu mereka keluar dan menuju bangunan di sayap kanan. Lukisan-lukisan potret tergantung dalam sekat-sekat kayu. Sebagian besar lukisan potret keluarga. Diri. Anak. Istri. Saudara. Koeswojo senior. Juga Koes Bersaudara dan Koes Plus dalam formasi lengkap. "Itu saya bikin sendiri. Gak ada guru," ujarnya. Melukis adalah aktivitas yang sudah digelutinya sejak tujuh tahun lalu. Yon mengembangkan teknik melukis sendiri. Tanpa sketsa pensil. Tanpa teori. Dia menyebutnya metode gelap terang. Prinsipnya, dia akan memberikan warna dasar pada kanvas, lalu menyapukan warna-warna gelap dan terang hingga membentuk sosok manusia yang ingin dia lukis. Yon mengajak saya duduk di teras. Lalu pindah ke kursi yang dibuat melingkar di halaman. Rindang. Tenang. "Kamu tahu siapa yang menanam semua rumput ini? Saya." Rumah di Pamulang ini dibelinya dari seorang Betawi tahun 1990. Luasnya 3.000 meter. Dengan sebuah mobil pick up, dia membeli rumput gajah di Depok. Lebih dari sepuluh kali. Lalu dia menanamnya. Secara berkala dia pula yang merapikan rumput-rumput ini. "Kalau gak gitu wah... makanya badan saya jadi begini," ujarnya sambil menekuk lengan tangannya. "Wajah saya, kata orang, juga jauh lebih muda." Dia tersenyum. Penampilan Yon tidak berubah seperti enam tahun lalu ketika saya menemuinya. Rambutnya masih gondrong sepundak. Yon satu-satunya keluarga Koeswojo yang masih bertahan di jalur musik. Selebihnya menghabiskan hari tua dengan aktivitas masing-masing. Djon masih menulis -karyanya tentang sejarah Koes Bersaudara pernah diterbitkan secara bersambung di tabloid Lelaki. Nomo berbisnis properti di Magelang. Yok membina kelompok petani Warga Jiwa Nusantara di Desa Saketi, Banten -Jiwa Nusantara adalah wadah penggemar Koes Plus yang dibikin Yok. Yon masih menciptakan lagu. Jika ada produser rekaman ingin merekam lagu-lagunya, dia siap. Dia juga masih bertahan bersama kelompok musiknya yang berusia hampir setengah abad: Koes Plus. "Alhamdulillah, saya masih eksis," ujar Yon. "Padahal dulu bapak melarang anak-anaknya main musik. Tapi begitu kemunculan Koes Bersaudara diterima masyarakat dan kehidupan lumayan, bapak sadar: dengan musik bisa hidup lebih dari pegawai negeri." Selanjutnya baca edisi 25 Rolling Stone Indonesia
OLEH BUDI SETIYONO ROLLING STONE INDONESIA RUMAH itu teduh dan asri. Halamannya luas. Hamparan rumput mendominasi pekarangan. Juga pohon-pohon palem yang berjajar rapi. Sudah duapuluh tahun pemilik rumahnya menyepi di pinggiran kota ini: Pamulang, Banten. Yon Koeswojo sedang berkumpul dengan istri dan anaknya di ruang keluarga. Lalu mereka keluar dan menuju bangunan di sayap kanan. Lukisan-lukisan potret tergantung dalam sekat-sekat kayu. Sebagian besar lukisan potret keluarga. Diri. Anak. Istri. Saudara. Koeswojo senior. Juga Koes Bersaudara dan Koes Plus dalam formasi lengkap. "Itu saya bikin sendiri. Gak ada guru," ujarnya. Melukis adalah aktivitas yang sudah digelutinya sejak tujuh tahun lalu. Yon mengembangkan teknik melukis sendiri. Tanpa sketsa pensil. Tanpa teori. Dia menyebutnya metode gelap terang. Prinsipnya, dia akan memberikan warna dasar pada kanvas, lalu menyapukan warna-warna gelap dan terang hingga membentuk sosok manusia yang ingin dia lukis. Yon mengajak saya duduk di teras. Lalu pindah ke kursi yang dibuat melingkar di halaman. Rindang. Tenang. "Kamu tahu siapa yang menanam semua rumput ini? Saya." Rumah di Pamulang ini dibelinya dari seorang Betawi tahun 1990. Luasnya 3.000 meter. Dengan sebuah mobil pick up, dia membeli rumput gajah di Depok. Lebih dari sepuluh kali. Lalu dia menanamnya. Secara berkala dia pula yang merapikan rumput-rumput ini. "Kalau gak gitu wah... makanya badan saya jadi begini," ujarnya sambil menekuk lengan tangannya. "Wajah saya, kata orang, juga jauh lebih muda." Dia tersenyum. Penampilan Yon tidak berubah seperti enam tahun lalu ketika saya menemuinya. Rambutnya masih gondrong sepundak. Yon satu-satunya keluarga Koeswojo yang masih bertahan di jalur musik. Selebihnya menghabiskan hari tua dengan aktivitas masing-masing. Djon masih menulis -karyanya tentang sejarah Koes Bersaudara pernah diterbitkan secara bersambung di tabloid Lelaki. Nomo berbisnis properti di Magelang. Yok membina kelompok petani Warga Jiwa Nusantara di Desa Saketi, Banten -Jiwa Nusantara adalah wadah penggemar Koes Plus yang dibikin Yok. Yon masih menciptakan lagu. Jika ada produser rekaman ingin merekam lagu-lagunya, dia siap. Dia juga masih bertahan bersama kelompok musiknya yang berusia hampir setengah abad: Koes Plus. "Alhamdulillah, saya masih eksis," ujar Yon. "Padahal dulu bapak melarang anak-anaknya main musik. Tapi begitu kemunculan Koes Bersaudara diterima masyarakat dan kehidupan lumayan, bapak sadar: dengan musik bisa hidup lebih dari pegawai negeri." Selanjutnya baca edisi 25 Rolling Stone Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar